Dunia maya yang pertama kali kukenal adalah dunia hitam-putih, tanpa warna, tanpa gambar, apalagi animasi. Meski demikian, tetap memiliki daya tarik luar biasa. Pengalaman baru dan kegairahan baru begitu terasa saat bersentuhan dengan dunianmaya yang “nyaris” tanpa batas itu. Sejak awal internet sudah membuatku kecanduan, sampai sekarang. Yah, semoga saja kecanduannya masih mengarah ke hal-hal yang positif.
Di tahun 1996, internet masih seperti barang langka, khususnya di Indonesia. Hanya kalangan tertentu, terutama kalangan mahasiswa dan praktisi IT yang banyak memanfaatkan hal ini. Isi website rata-rata masih mementingkan isi, tampilan jadi nomor dua. Desain-desain web masih cukup sederhana, kadang-kadang norak dengan animasi GIF disana-sini dan gemerlapan. Dan bagiku, dunia maya itu makin sederhana lagi karena keterbatasan hardware.
Di kampuslah aku bersentuhan dengan dunia maya untuk pertama kali. Waktu itu rata-rata komputer berprosesor 486, memori gak sampai 32MB dan sistem operasi yang digunakan adalah Unix yang berbasis teks, hitam putih. Meskipun ada warna-warna tertentu, — biru, merah, kuning dsb — namun karena berbasis teks, maka warna-warna tersebut tidaklah terlalu bermakna. Tidak ada gambar yang bisa dinikmati langsung. Tidak ada animasi yang mengganggu. Tidak ada tampilan iklan yang merusak pemandangan (hanya berupa teks singkat). Navigasipun mengandalkan keyboard, karena mouse menjadi tidak terlalu berguna.
Untuk membaca email, aku memanfaatkan Pine, sedangkan Lynx menjadi browser pilihan saat itu. Sebenarnya sudah ada Netscape Navigator saat itu, namun dengan RAM yang gak nyampe 32MB, menjalankan Netscape (yang notabene harus beralih dari mode text ke mode grafis) membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, dan hasil yang diperolehpun jauh panggang dari api. Lemoottt abisss … Untuk chatting … hmmm, nampaknya di saat-saat awal aku gak pernah chatting.
Meski demikian, dengan segala kekurangan tersebut — apalagi dibandingkan dengan kondisi saat ini –, bermain di dunia maya tetaplah menyenangkan. Ibarat menemukan perpustakaan tanpa batas, berbagai macam informasi bisa didapat gratis (gratis, karena internet dibayarin kampus, meskipun seringkali harus rebutan memanfaatkan waktu diantara jadwal kuliah), dan kadang-kadang menemukan harta karun (cukup banyak penawaran barang gratisan di internet). Di jaman hitam putih itu rasanya jejaring sosial belum seheboh sekarang, paling-paling hanya lewat forum-forum atau mailinglist. Yang jelas, aktivitas yang paling sering kulakukan di dunia maya adalah mencari barang gratisan. Berbekal keyword “free stuff free gift”, aku menjelajah dunia maya dengan memanfaatkan mesin pencari yang ada (Yahoo, Lycos, Altavista, Softseek … Google belum muncul kala itu) untuk mencari barang-barang gratis, baik barang nyata maupun barang maya (artikel, software dsb). Rata-rata yang bisa kudapat adalah buku, kaset promo, dan majalah atau buklet. Ya, meskipun aku harus menebus barang-barang tersebut dengan biaya yang gak bisa dibilang murah untuk ukuran mahasiswa saat itu, sebagai ganti ongkos bea cukai ($&*#&&&#&@@).
Sejak itu, hampir sebagian besar waktu kuhabiskan di kampus, untuk berselancar di dunia maya, meskipun masih hitam putih. Berbagai informasi aku unduh, — buku, artikel, berita, dokumen-dokumen ilmiah, gambar, software dan sebagainya. Tak ketinggalan aku berburu barang gratisan, meskipun lama-lama bosan juga karena semakin lama semakin kurang menarik. Oh ya, meskipun berbasis text, bukan berarti saat itu belum ada game online. Sudah ada game online yang cukup populer … hmmm, Utopia … hanya saja aku lebih tertarik berburu informasi dan barang gratisan daripada main game saat itu.
Berselancar di dunia maya yang tanpa warna memiliki beberapa keunggulan. Mengunduh data relatif lebih cepat, karena hanya text, tidak perlu download gambar, animasi apalagi banner iklan. Dengan kecepatan internet saat itu yang mungkin masih 10% dari kecepatan saat ini, mengakses informasi dan artikel di dunia maya tidaklah terlalu lambat, apalagi saat kampus sepi. Mengintip situs porno juga tidak terlalu was-was … lha wong gambarnya aja gak tampil kok (hehehe .. ini keuntungan atau kerugian ya???).
5-6 tahun kemudian, saat hardware di kampus sudah makin bagus (sudah ada pentium 3 dan 4), saat pertarungan browser juga makin ramai (IE vs NN atau Mozilla), saat konten web yang makin penuh warna dan beragama, dan munculnya flash dan asesoris website lainnya, ternyata masih ada juga teman-temanku yang memilih menggunakan Lynx karena alasan kecepatan dan kepraktisan. Kenyamanan dan warna-warni tidak menjadi prioritas penting, yang penting informasi bisa diperoleh lebih cepat dan mudah, tanpa gangguan bumbu-bumbu website yang gak penting. Saat ini, entah apakah masih ada setia dunia maya hitam putih itu atau tidak. Aku sih sudah meninggalkan dunia yang sederhana itu, dan memilih dunia yang penuh warna meskipun harus sabar menghadapi banjir iklan dimana-mana.
Read More..